Sejak memasuki tahapan program legislasi nasional (prolegnas), Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional semakin menjadi sorotan publik. Berbagai kontroversi pun mencuat di berbagai ruang diskusi publik dan media massa.
Ada kecurigaan, RUU tersebut diboncengi kepentingan militer. Militer (baca: TNI) disebut-sebut ingin mengembalikan semangat ABRI pada masa orde baru dalam kehidupan demokratis yang tengah menjadi nafas kehidupan politik nasional kini. Perdebatan kembali muncul di tengah publik. Sebagian khawatir, jika RUU itu disahkan, tindakan represif terhadap sipil atas nama keamanan dan ketertiban menjalar, tak dapat dibendung. Benarkah ada kepentingan militer dibalik penggodokan RUU Kamnas?
RUU keamanan nasional telah diusulkan sejak era kepemimpinan Presiden Gus Dur. Tak seperti RUU lainnya yang secara cepat masuk proses legislasi nasional, pembahasan RUU Kamnas dihentikan karena sebagian besar anggota DPR, kala itu menolak untuk dilanjutkannya pembahasan RUU Kamnas di DPR. DPR pun mengembalikan naskah RUU tersebut ke eksekutif, dengan beberapa rekomendasi yang bertujuan agar beberapa pasal dalam RUU tersebut diubah.
Selain karena penilaian ketidakjelasan penjabaran term dalam RUU Kamnas, DPR juga mengingatkan adanya tendensi kembali mendominasinya peran militer (baca: TNI) jika UU tersebut disahkan. Praktis, RUU tersebut dinilai diboncengi kepentingan militer untuk kembali melakonkan peran seperti pada era kepemimpinan Presiden Soeharto: represif dan anti demokrasi. Penolakan terhadap pengesahan RUU Kamnas juga dilatarbelakangi dugaan bahwa pihak TNI akan mengambil peran kepolisian dalam mengelola keamanan nasional.
Dalam perkembangannya, pemerintah pun mengembalikan naskah RUU tersebut kepada DPR tanpa diubah bentuk aslinya. Kontroversi pun mencuat. DPR terbelah menjadi dua kubu, ada yang menerima RUU tersebut dan mendesak agar segera disahkan, ada juga yang menolak-dengan argumentasi yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kontroversi tanggapan terhadap RUU Kamnas ini juga memantik perbedaan opini di kalangan publik. Apalagi, secara terang benderang, pihak Polri telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengesahan RUU Kamnas tersebut. Polri, kala dipimpin Timur Pradopo, mengungkap signal adanya agenda siluman TNI dalam RUU terebut yang akan mematahkan peran Polri dalam hal kemanan dan ketertiban umum.
Parahnya, belum ada langkah jitu dari berbagai stakeholder untuk menghapus stigma negative terhadap TNI itu, yang dapat mempengaruhi kebijakan parlemen untuk segera mengesahkan RUU Kamnas tersebut. Seiring waktu, segelumit persoalan yang erat kaitannya dengan gangguan keamanan nasional menyeruak di beberapa daerah.
Yang bisa dilakukan hanya pengerahan pasukan (baik TNI maupun Polri) untuk mencegah terulangnya peristiwa yang sama. Lebih parah lagi, dalam kontroversi tersebut, ada kesan ego-sektoral dari beberapa lembaga yang berkewenangan terhadap persoalan keamanan dan pertahanan nasional.
Pusat Pengkajian Strategi nasional (PPSN) mencoba membedah kontroversi tersebut secara gamblang. Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah narasumber, antara lain; Dr. Dirgo W. Purbo, Prof. Dr. Adrianus Meliala, Letjen TNI (Purn) Johanes Suryo Prabowo, Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, Dr. timbul Siahaan, dan Dr. Conie Rahakundini. Acara tersebut dibuka secara langsung oleh Laksamana TNI (Purn.) Widodo Adi Sutjipto selaku Ketua Dewan Pembina PPSN. [1]
Dalam sambutannya, Menkopolhukam ke-10 itu mengakui, kontroversi RUU Kamnas berkaitan erat dengan perbedaan pandangan publik tentang substansi RUU Kamnas. Sebagian berpandangan, RUU Kamnas akan mengkonfirmasi kekhawatiran publik terkait Pelanggaran HAM, kembalinya otoritarianisme dan menguatnya military sentris dan besarnya tendensi abuse of power.
Selain itu, posisi negara dan militer dianggap sebagai sesuatu yang bersifat superbody, pemerintahan yang bebas dari pengawasan legislative, over rule salah satu pemegang otoritas fungsi kelembagaan atas kelembagaan lain, dan subjektifitas kepala negara dalam mengelola keamanan nasional.
Beberapa fenomena tersebut, menurut Widodo adalah bentuk-bentuk opini publik yang berkembang dalam menafsir roda kepemimpinan Soeharto. Padahal, menurutnya, reformasi ABRI pasca jatuhnya rezim Soeharto telah secara total menghapus segala bentuk dominasi TNI dalam mengelola keamanan dan pertahanan nasional. Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo dalam pemaparan materinya menjelaskan terlambatnya realisasi RUU Kamnas disebabkan beberapa faktor.[2]
Pertama, belum terbangunnya akseptabilitas di berbagai kalangan untuk memahmi pentingnya RUU Kamnas. Kedua, konsep yang diajukan pemerintah (melalui Kementerian Pertahanan) terlihat masih belum tajam dan jauh dari sempurna. Suryo Prabowo mebambahkan kondisi tersebut diperparah dengan menguatnya stigma bahwa UU Kamnas yang nantinya akan disahkan ditujukan untuk memperbesar dan memperlua peran dan kewenangan TNI dan sekaligus mereduksi kewenangan Polri.Padahal, lanjut Suryo, substansi RUU Kamnas tidak hanya berkaitan dengan point itu.
Untuk itu, salah satu jalan penting agar kontroversi tersebut tak meluas lagi ialah harus adanya upaya dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat agar menghapus stigma buruk terhadap TNI saat ini. Selama stigma buruk itu tak dihilangkan, pembahasan RUU Kamnas pun akan semakin terganggu, tertunda dan bahkan tak dapat dieksekusi di DPR. Stigma buruk terhadap TNI adalah awal dari kegelisahan publik agar RUU tersebut tidak disahkan oleh DPR. Padahal, urgensi pengesahan RUU Kamnas bukan hanya untuk kepentingan TNI atau Polri, tetapi untuk kepentingan keamanan nasional.
Ia mencontohkan kegiatan SAR saat musibah pesawat Air Asia di awal tahun 2015, MoU TNI dengan Kementerian Perhubungan terkait pengamanan stasiun Kereta Api, pelabuhan laut dan Bandara, dan MoU TNI dengan Jaksa Agung dalam pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
“Dalam kasus bantuan TNI saat evakuasi Pesawat Air Asia, TNI seharusnya membantu Badan SAR Nasional. Namun, yang terlihat malah sebaliknya. Basarnas yang membantu TNI. MoU dengan Kemenhub dan Kejaksaan Agung juga hanya beralasan karena Lapas, Bandara dan Pelabuhan adalah obyek vital yang bersifat strategis” kata Suryo Prabowo.
Ketiadaan UU Kamnas juga sangat berpengaruh terhadap tumpang tindihnya peran berbagai lembaga mengelola urusan keamanan dan pertahanan negara. TNI dan Polri tak jarang saling berebut peran saat terjadi sebuah situasi yang mengusik keamanan dan ketertiban umum. Dalam kasus penanganan terorisme, misalnya, terjadi tumpang tindih peran yang cukup jelas antara TNI dan Polri dan Pemerintah (eksekutif).
Untuk menangani berbagai aksi terorisme, pemerintah membentuk BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Selain itu, di tubuh Polri, juga dibentuk Densus 88. Sementara, UU juga mengatur tanggung jawab TNI terhadap Operasi Militer Selain Perang (OMSP), terorisme.
“Salah kaprah terhadap kata teror yang hanya diartikan sebagai aksi pengeboman di tempat public membuat tumpang tindih peran itu terjadi. Padahal UU No. 15 Tahun 2003 mendeskripsikan bahwa terror bukan hanya pengeboman saja” tegas Suryo Prabowo.
Pangan, energi, dan air merupakan tiga kebutuhan esensial manusia. Keamanan nasional semestinya dibaca dalam konsep itu; sejauh mana pertahanan dan keamanan nasional kita mampu menjawab tuntutan terpenuhinya tiga kebutuhan itu. Menjamin rasa aman (dalam arti sosiologis) adalah pincang saat warga negara lapar, ketiadaan bahan pangan, kekurangan supply energi, dan kehilangan sumber air.[3]
Untuk itu, diperlukan kesamaan pemahaman secara utuh untuk mewujukan tiga hal itu. Rusadi Kantaprawira, dalam pemaparannya di PPSN menegaskan bahwa ancaman dan gangguan tidak hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam. Ia mengistilahkan itu sebagai natural disaster. Selain itu, kategori ancaman dan gangguan juga berkaitan dengan kelangkaan bahan-bahan kehidupan esensial yang disebabkan bencana (disaster), kelaparan (famine) dan perang (war). Hal-hal tersebut tercakup dalam pasal 13 huruf i draft RUU Kamnas yang tengah digodok itu.
Rusadi menambahkan dalam konteks mewujudkan ketahanan nasional, fokus negara harus ditujukan pada pemenuhan dua kebutuhan yang amat mendesak yaitu food security dan energi security. Pertimbangan terhadap pemenuhan kebutuhan insani itu harus pula ditunjang oleh pemahaman publik tentang keamanan nasional. Jangan sampai, keamanan nasional hanya berkaitan dengan urusan perang. Pertahanan dan keamanan nasional merupakan sebuah domain penting dalam mewujudkan kepentingan geostrategis.
Kepentingan geostrategis Indonesia tidak hanya berkaitan dengan kepentingan nasional (kepentingan dalam negeri) tetapi juga kepentingan Indonesia di kancah internasional (luar negeri). Di dalam negeri, kepentingan geostrategis berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi demi mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional, yang secara spesifik bertujuan untuk mencukupi tiga kebutuhan utama ekonomi nasional; pangan, energi dan air.[4]
Tiga kebutuhan utama tersebut merupakan penyangga utama roda perekonomian nasional. Sebelum lebih jauh mengurusi kebutuhan keluar, negara harus benar-benar mampu memenuhi tiga kebutuhan dalam negerinya, khususnya tiga kebutuhan tersebut.
Disisi lain, kepentingan geostrategis Indonesia yang bersifat keluar mutlak berkaitan dengan pelbagai hal yang dapat menghasilkan keuntungan bagi Indonesia, baik yang bersifat politik, tetapi juga ekonomi. Untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan tersebut, maka diperlukan jaminan keamanan nasional yang benar-benar mampu mengamankan negara untuk mewujudkan kesejahteraan warganya.
Dukungan pertahanan dan keamanan tidak hanya berkaitan dengan sejauh mana Indonesia mampu memenangkan peperangan, tetapi juga berkaitan erat dengan sejauh mana Indonesia mampu mewujudkan kesejahteraan warganya. Sebab, tanpa security (keamanan), tidak akan terwujud prosperity (kesejahteraan). *Marsel Gunas
Ada kecurigaan, RUU tersebut diboncengi kepentingan militer. Militer (baca: TNI) disebut-sebut ingin mengembalikan semangat ABRI pada masa orde baru dalam kehidupan demokratis yang tengah menjadi nafas kehidupan politik nasional kini. Perdebatan kembali muncul di tengah publik. Sebagian khawatir, jika RUU itu disahkan, tindakan represif terhadap sipil atas nama keamanan dan ketertiban menjalar, tak dapat dibendung. Benarkah ada kepentingan militer dibalik penggodokan RUU Kamnas?
RUU keamanan nasional telah diusulkan sejak era kepemimpinan Presiden Gus Dur. Tak seperti RUU lainnya yang secara cepat masuk proses legislasi nasional, pembahasan RUU Kamnas dihentikan karena sebagian besar anggota DPR, kala itu menolak untuk dilanjutkannya pembahasan RUU Kamnas di DPR. DPR pun mengembalikan naskah RUU tersebut ke eksekutif, dengan beberapa rekomendasi yang bertujuan agar beberapa pasal dalam RUU tersebut diubah.
Selain karena penilaian ketidakjelasan penjabaran term dalam RUU Kamnas, DPR juga mengingatkan adanya tendensi kembali mendominasinya peran militer (baca: TNI) jika UU tersebut disahkan. Praktis, RUU tersebut dinilai diboncengi kepentingan militer untuk kembali melakonkan peran seperti pada era kepemimpinan Presiden Soeharto: represif dan anti demokrasi. Penolakan terhadap pengesahan RUU Kamnas juga dilatarbelakangi dugaan bahwa pihak TNI akan mengambil peran kepolisian dalam mengelola keamanan nasional.
Dalam perkembangannya, pemerintah pun mengembalikan naskah RUU tersebut kepada DPR tanpa diubah bentuk aslinya. Kontroversi pun mencuat. DPR terbelah menjadi dua kubu, ada yang menerima RUU tersebut dan mendesak agar segera disahkan, ada juga yang menolak-dengan argumentasi yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kontroversi tanggapan terhadap RUU Kamnas ini juga memantik perbedaan opini di kalangan publik. Apalagi, secara terang benderang, pihak Polri telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengesahan RUU Kamnas tersebut. Polri, kala dipimpin Timur Pradopo, mengungkap signal adanya agenda siluman TNI dalam RUU terebut yang akan mematahkan peran Polri dalam hal kemanan dan ketertiban umum.
RUU Kamnas: Hapus Stigma
Sejak kembali dibahasnya RUU Kamnas di DPR, kontroversi pemikiran terkait RUU tersebut semakin meluas. Internal DPR masih belum solid dan satu sikap untuk menjelaskan RUU tersebut kepada publik. Stigma kepentingan militer yang bermain di balik dorongan pengesahan RUU Kamnas tersebut pun semakin menguat.Parahnya, belum ada langkah jitu dari berbagai stakeholder untuk menghapus stigma negative terhadap TNI itu, yang dapat mempengaruhi kebijakan parlemen untuk segera mengesahkan RUU Kamnas tersebut. Seiring waktu, segelumit persoalan yang erat kaitannya dengan gangguan keamanan nasional menyeruak di beberapa daerah.
Yang bisa dilakukan hanya pengerahan pasukan (baik TNI maupun Polri) untuk mencegah terulangnya peristiwa yang sama. Lebih parah lagi, dalam kontroversi tersebut, ada kesan ego-sektoral dari beberapa lembaga yang berkewenangan terhadap persoalan keamanan dan pertahanan nasional.
Pusat Pengkajian Strategi nasional (PPSN) mencoba membedah kontroversi tersebut secara gamblang. Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah narasumber, antara lain; Dr. Dirgo W. Purbo, Prof. Dr. Adrianus Meliala, Letjen TNI (Purn) Johanes Suryo Prabowo, Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, Dr. timbul Siahaan, dan Dr. Conie Rahakundini. Acara tersebut dibuka secara langsung oleh Laksamana TNI (Purn.) Widodo Adi Sutjipto selaku Ketua Dewan Pembina PPSN. [1]
Dalam sambutannya, Menkopolhukam ke-10 itu mengakui, kontroversi RUU Kamnas berkaitan erat dengan perbedaan pandangan publik tentang substansi RUU Kamnas. Sebagian berpandangan, RUU Kamnas akan mengkonfirmasi kekhawatiran publik terkait Pelanggaran HAM, kembalinya otoritarianisme dan menguatnya military sentris dan besarnya tendensi abuse of power.
Selain itu, posisi negara dan militer dianggap sebagai sesuatu yang bersifat superbody, pemerintahan yang bebas dari pengawasan legislative, over rule salah satu pemegang otoritas fungsi kelembagaan atas kelembagaan lain, dan subjektifitas kepala negara dalam mengelola keamanan nasional.
Beberapa fenomena tersebut, menurut Widodo adalah bentuk-bentuk opini publik yang berkembang dalam menafsir roda kepemimpinan Soeharto. Padahal, menurutnya, reformasi ABRI pasca jatuhnya rezim Soeharto telah secara total menghapus segala bentuk dominasi TNI dalam mengelola keamanan dan pertahanan nasional. Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo dalam pemaparan materinya menjelaskan terlambatnya realisasi RUU Kamnas disebabkan beberapa faktor.[2]
Pertama, belum terbangunnya akseptabilitas di berbagai kalangan untuk memahmi pentingnya RUU Kamnas. Kedua, konsep yang diajukan pemerintah (melalui Kementerian Pertahanan) terlihat masih belum tajam dan jauh dari sempurna. Suryo Prabowo mebambahkan kondisi tersebut diperparah dengan menguatnya stigma bahwa UU Kamnas yang nantinya akan disahkan ditujukan untuk memperbesar dan memperlua peran dan kewenangan TNI dan sekaligus mereduksi kewenangan Polri.Padahal, lanjut Suryo, substansi RUU Kamnas tidak hanya berkaitan dengan point itu.
Untuk itu, salah satu jalan penting agar kontroversi tersebut tak meluas lagi ialah harus adanya upaya dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat agar menghapus stigma buruk terhadap TNI saat ini. Selama stigma buruk itu tak dihilangkan, pembahasan RUU Kamnas pun akan semakin terganggu, tertunda dan bahkan tak dapat dieksekusi di DPR. Stigma buruk terhadap TNI adalah awal dari kegelisahan publik agar RUU tersebut tidak disahkan oleh DPR. Padahal, urgensi pengesahan RUU Kamnas bukan hanya untuk kepentingan TNI atau Polri, tetapi untuk kepentingan keamanan nasional.
Akibat Ketiadaan UU Kamnas
Gonjang ganjing lahirnya RUU Kamnas semestinya didudukkan pada substansi pertahanan dan keamanan nasional. Menurut Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo, ketiadaan UU Kamnas mengakibatkan diskersi kepemimpinan Panglima TNI. Panglima TNI tak jarang mengambil keputusan sendiri dalam menyikapi suatu situasi.Ia mencontohkan kegiatan SAR saat musibah pesawat Air Asia di awal tahun 2015, MoU TNI dengan Kementerian Perhubungan terkait pengamanan stasiun Kereta Api, pelabuhan laut dan Bandara, dan MoU TNI dengan Jaksa Agung dalam pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
“Dalam kasus bantuan TNI saat evakuasi Pesawat Air Asia, TNI seharusnya membantu Badan SAR Nasional. Namun, yang terlihat malah sebaliknya. Basarnas yang membantu TNI. MoU dengan Kemenhub dan Kejaksaan Agung juga hanya beralasan karena Lapas, Bandara dan Pelabuhan adalah obyek vital yang bersifat strategis” kata Suryo Prabowo.
Ketiadaan UU Kamnas juga sangat berpengaruh terhadap tumpang tindihnya peran berbagai lembaga mengelola urusan keamanan dan pertahanan negara. TNI dan Polri tak jarang saling berebut peran saat terjadi sebuah situasi yang mengusik keamanan dan ketertiban umum. Dalam kasus penanganan terorisme, misalnya, terjadi tumpang tindih peran yang cukup jelas antara TNI dan Polri dan Pemerintah (eksekutif).
Untuk menangani berbagai aksi terorisme, pemerintah membentuk BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Selain itu, di tubuh Polri, juga dibentuk Densus 88. Sementara, UU juga mengatur tanggung jawab TNI terhadap Operasi Militer Selain Perang (OMSP), terorisme.
“Salah kaprah terhadap kata teror yang hanya diartikan sebagai aksi pengeboman di tempat public membuat tumpang tindih peran itu terjadi. Padahal UU No. 15 Tahun 2003 mendeskripsikan bahwa terror bukan hanya pengeboman saja” tegas Suryo Prabowo.
RUU Kamnas: Pangan, Energi, dan Air
Polemik kepentingan yang membaluti pembahasan RUU Kamnas membuat substansi ketahanan nasional diabaikan dalam pembahasan tersebut. Seolah-olah, RUU Kamnas hanya berkutat dalam hal keamanan dalam konteks gangguan dan ancaman perang, militer, dan terorisme. Padahal, masih ada yang lebih substansial dari sekedar urusan-urusan itu.Pangan, energi, dan air merupakan tiga kebutuhan esensial manusia. Keamanan nasional semestinya dibaca dalam konsep itu; sejauh mana pertahanan dan keamanan nasional kita mampu menjawab tuntutan terpenuhinya tiga kebutuhan itu. Menjamin rasa aman (dalam arti sosiologis) adalah pincang saat warga negara lapar, ketiadaan bahan pangan, kekurangan supply energi, dan kehilangan sumber air.[3]
Untuk itu, diperlukan kesamaan pemahaman secara utuh untuk mewujukan tiga hal itu. Rusadi Kantaprawira, dalam pemaparannya di PPSN menegaskan bahwa ancaman dan gangguan tidak hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam. Ia mengistilahkan itu sebagai natural disaster. Selain itu, kategori ancaman dan gangguan juga berkaitan dengan kelangkaan bahan-bahan kehidupan esensial yang disebabkan bencana (disaster), kelaparan (famine) dan perang (war). Hal-hal tersebut tercakup dalam pasal 13 huruf i draft RUU Kamnas yang tengah digodok itu.
Rusadi menambahkan dalam konteks mewujudkan ketahanan nasional, fokus negara harus ditujukan pada pemenuhan dua kebutuhan yang amat mendesak yaitu food security dan energi security. Pertimbangan terhadap pemenuhan kebutuhan insani itu harus pula ditunjang oleh pemahaman publik tentang keamanan nasional. Jangan sampai, keamanan nasional hanya berkaitan dengan urusan perang. Pertahanan dan keamanan nasional merupakan sebuah domain penting dalam mewujudkan kepentingan geostrategis.
Kepentingan geostrategis Indonesia tidak hanya berkaitan dengan kepentingan nasional (kepentingan dalam negeri) tetapi juga kepentingan Indonesia di kancah internasional (luar negeri). Di dalam negeri, kepentingan geostrategis berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi demi mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional, yang secara spesifik bertujuan untuk mencukupi tiga kebutuhan utama ekonomi nasional; pangan, energi dan air.[4]
Tiga kebutuhan utama tersebut merupakan penyangga utama roda perekonomian nasional. Sebelum lebih jauh mengurusi kebutuhan keluar, negara harus benar-benar mampu memenuhi tiga kebutuhan dalam negerinya, khususnya tiga kebutuhan tersebut.
Disisi lain, kepentingan geostrategis Indonesia yang bersifat keluar mutlak berkaitan dengan pelbagai hal yang dapat menghasilkan keuntungan bagi Indonesia, baik yang bersifat politik, tetapi juga ekonomi. Untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan tersebut, maka diperlukan jaminan keamanan nasional yang benar-benar mampu mengamankan negara untuk mewujudkan kesejahteraan warganya.
Dukungan pertahanan dan keamanan tidak hanya berkaitan dengan sejauh mana Indonesia mampu memenangkan peperangan, tetapi juga berkaitan erat dengan sejauh mana Indonesia mampu mewujudkan kesejahteraan warganya. Sebab, tanpa security (keamanan), tidak akan terwujud prosperity (kesejahteraan). *Marsel Gunas
[1] PPSN merupakan singkatan dari Pusat Pengkajian Strategi Nasional. Sebuah organisasi yang beranggotakan sejumlah purnawirawan TNI. Alamat kantor PPSN terletak di Jl. Patra Kuningan VIII No. 14 Jakarta Selatan. Organisasi ini kerap melakukan kajian terhadap berbagai isu nasional, khususnya yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional, pangan dan energi serta berbagi isu strategis lainya
[2] Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo lahir di Semarang, Jawa Tengah pada 15 Juni 1954. Ia tidak hanya dikenal sebagai tokoh militer, tetapi juga seorang politisi. Pada Pilpres 2014 ia aktif dalam tim pemenangan Prabowo-Hatta di Koalisi Merah Putih (KMP). Di dunia militer, ia merupakan mantan Kepala Staf Umum TNI periode 01 April 2011-30 Juni 2012, menggantikan Marsekal Madya (Purn) Daryatmo SIP.
Dalam makalahnya "RUU Keamanan Nasional, Ditinjau dari Perspektif Pertahanan Negara" yang disajikan dalam FGD yang diselenggarakan PPSN di Kuningan, Jakarta, 27/08/2015, ia menjelaskan bahwa kelanjutan pembahasan RUU Kamnas di DPR membutuhkan kesamaan persepsi dan sikap politik anggota DPR terhadap keamanan dan pertahanan nasional
[3] Salah satu alasan yang membuat pembahasan RUU Kamnas di DPR sering terhambat ialah adanya stigma buruk adanya kepentingan militer yang memboncengi RUU tersebut. Menurut Pengamat Militer, Dirgo W Purbo, RUU Kamnas tidak berkaitan dengan urusan kewenangan TNI-Polri semata. RUU Kamnas, katanya, harus dilihat dalam konteks kepentingan geostrategi Indonesia.
[4] Hal yang harus menjadi fokus tinjauan dalam pembahasan RUU Kamnas ialah berkaitan dengan kepentingan negara akan pangan dan energi sebagai kebutuhan utama masyarakat nasional.
[2] Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo lahir di Semarang, Jawa Tengah pada 15 Juni 1954. Ia tidak hanya dikenal sebagai tokoh militer, tetapi juga seorang politisi. Pada Pilpres 2014 ia aktif dalam tim pemenangan Prabowo-Hatta di Koalisi Merah Putih (KMP). Di dunia militer, ia merupakan mantan Kepala Staf Umum TNI periode 01 April 2011-30 Juni 2012, menggantikan Marsekal Madya (Purn) Daryatmo SIP.
Dalam makalahnya "RUU Keamanan Nasional, Ditinjau dari Perspektif Pertahanan Negara" yang disajikan dalam FGD yang diselenggarakan PPSN di Kuningan, Jakarta, 27/08/2015, ia menjelaskan bahwa kelanjutan pembahasan RUU Kamnas di DPR membutuhkan kesamaan persepsi dan sikap politik anggota DPR terhadap keamanan dan pertahanan nasional
[3] Salah satu alasan yang membuat pembahasan RUU Kamnas di DPR sering terhambat ialah adanya stigma buruk adanya kepentingan militer yang memboncengi RUU tersebut. Menurut Pengamat Militer, Dirgo W Purbo, RUU Kamnas tidak berkaitan dengan urusan kewenangan TNI-Polri semata. RUU Kamnas, katanya, harus dilihat dalam konteks kepentingan geostrategi Indonesia.
[4] Hal yang harus menjadi fokus tinjauan dalam pembahasan RUU Kamnas ialah berkaitan dengan kepentingan negara akan pangan dan energi sebagai kebutuhan utama masyarakat nasional.